MANDIKAN AKU BUNDA..!!!!!!!

Saya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Vena namanya. Semasa kuliah ia tergolong orang yang berotak cemerlang dan memiliki idealism yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan di gelutinya.
Ketika Universistas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universistas Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Vena terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hokum dan perundangan.
Beruntung pula, vena mendapat pendamping yang setara dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka lahir ketika vena baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami vena meraih PhD. Konon nama putera mereka di ambil dari huruf pertama hijaiyah “alif” dan huruf terakhir “ya”. Jadilah nama yang enak di dengar : alifya.
Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. Ketika alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan vena semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu Negara ke Negara lain makin meninggi.
Saya pernah bertanya. “tidakkah si Alif terlalu kecil untuk di tinggal?” dengan sgap vena menjawab: “saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok.” Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian.
Kakek dan neneknya selalu memompakan kebanggan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. “contohlah ayah-bunda alif kalau alif bedar nanti.” Begitu selalu nenek alif, ibunya vena bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
Ketika alif berusia 3 tahun, vena bercerita kalau alif minta adik. Waktu itu ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasi saying bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk mengahdirkan seorang adik buat alif. Lagi-lagi bocah kecil ini “DAPAT MEMAHAMI” orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek . Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Kisah vena, alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Vena bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, piker saya. Meski kedua orang tua sibuk, alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti alif.
Suatu hari, menjelang vena berangkat ke kantor, entah mengapa alif menolak dimandikan beby sitternya. “ALIF INGIN BUNDA MANDIKAN.” Ujarnya. Keruan saja vena yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar alif mau mandi dengan tante mien, baby sitternya.
Peristiwa ini berulang sempat hamper sepekan, “BUNDA MANDIKAN ALIF.” BEGITU SETIAP PAginya. Vena dan suaminya berpikir, mungkin karena alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Sampai suatu sore, saya di kejutkan telponnya mien, sang baby-sitter. “bu, dokter, alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di emergency.” Setengah terbang, saya pun menuju ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil sudah di panggil pemiliknya.
Vena, bundanya tercinta , yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kentor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya.
Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. “ini bunda lif, bunda memandikan alif” ucapnya lirih, namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali vena, sahabatku yang tegar itu berkata, “ini sudah takdir, iya kan? ” aku di sebelahnya atau diseberang lautan , kalau sudah saatnya dia akan pergi juga, kan? Saya diam saja mendengarkan.
“ini onsekuensinya sebuah pilihan.” Lanjutnya lagi, tapi tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba vena tertunduk. “aku ibunya…………………………!” setunya kemudian, “bangunlah, Lif, bunda mau memandikan alif. Beri kesempatan bunda sekali saja lif.” Rintihan itu begitu menyengat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-ngais tanah merah. Air mata kesedihan menyirami pusara alif, putra satu-satunya. (nasi telah menjadi bubur, yang berlalu tak pernah kembali lagi, penyesalan selalu dating kemudian.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngomongo ! cepetan ..